Rabu, 17 Juni 2009

Gaya Hidup “Bebas” Remaja Masa Kini

Setelah kita memasuki era kehidupan dengan sistem komunikasi global, dengan kemudahan mengakses informasi baik melalui media cetak, TV, internet, komik, media ponsel, dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan kita. Setiap fenomena yang ada dan terjadi di dunia, tentunya akan memberikan nilai positif sekaligus negatif. Sangat tergantung pada pola pikir dan landasan hidup pribadi masing-masing.
Setiap individu dari kita akan merasa senang dengan kehadiran produk atau layanan yang lebih canggih dan praktis. Tidak terkecuali teknologi internet yang telah merobohkan batas dunia dan media televisi yang menyajikan hiburan, informasi serta berita aktual. Begitu juga, handphone yang telah membantu komunikasi sesama manusia untuk kapan saja meskipun satu dengan yang lainnya berada di dunia Utara-Selatan atau belahan Timur – Laut.
Teknologi + Kebebasan – Edukasi = Kehancuran
Setiap teknologi memberikan efek positif dan negatif . Maraknya penggunaan ponsel telah menurunkan interaksi individu secara langsung. Hal ini akan cenderung membuat pola hidup manusia menjadi indivualistis. Dampak negatif ini tentunya dapat dikurangi bahkan dihindari jika saja si pengguna memiliki pemahaman/pengetahuan, etika dan sikap yang kuat (bijak-positif) untuk memanfaatkan sesuatu secara selektif dan tepat guna.
Inilah titik permasalahannya bagi anak dan remaja. Penyaring internal (pemahamam, etika dan sikap) anak dan remaja kita masih sangat rapuh. Di era kompleksitas arus kehidupan saat ini, orang tua (terutama di perkotaan) telah kehilangan daya mendidik dan membangun keluarga bagi anak-anaknya. Hal ini diperparah dengan maraknya “racun-racun” yang diterima oleh anak-anak kita saat ini. Adegan-adegan kekerasan, seksual, mistik, dan hedonisme di media TV, koran dan internet, serta sistem pendidikan sekolah yang gagal membangun karakter anak, telah menyerang anak-anak kita saat ini.
Di sisi lain, rendahnya regulasi dan law inforcement dari pemerintah dan aparaturnya, telah menyebabkan oknum-oknum perusak generasi muda kita “berkembang biak: secara pesat. KKN antara pihak penguasa dengan pengusaha dalam regulasi, publikasi dan distribusi media menyebabkan jutaan pemimpin masa depan Indonesia di ujung kepunahan. Sederet keprihatinan anak dan remaja saat ini seperti kenakalan remaja, pola hidup konsumtif-hedonistik, pergaulan bebas, rokok, narkoba, dan kecanduan game on line hampir menuju budaya “gaya hidup” remaja masa kini.
Teknologi tanpa filtrasi (perlu regulasi agar kebebasan tidak jebol) dan rapuhnya edukasi/karakter manusia mengakibatkan kehancuran bangsa.
Rokok, Narkoba, Seks, dan AIDS
Ditengah berita siswa-siswi berprestasi dalam ajang penelitian, olimpiade sains, seni dan olahraga, anak muda Indonesia saat ini terancam dalam masa chaos. Jutaan remaja kita menjadi korban perusahaan nikotin-rokok. Lebih dari 2 juta remaja Indonesia ketagihan Narkoba (BNN 2004) dan lebih 8000 remaja terdiagnosis pengidap AIDS (Depkes 2008). Disamping itu, moral anak-anak dalam hubungan seksual telah memasuki tahap yang mengawatirkan. Lebih dari 60% remaja SMP dan SMA Indonesia, sudah tidak perawan lagi. Perilaku hidup bebas telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita.
Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
- Sebanyak 97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Pengakuan Siswi SMA, Beginikah Remaja Kita?
“Sekarang gue lagi jomblo. Sudah dua tahun putus. Sakit juga! Habis pacaran empat tahun, dan sudah kayak suami-istri. Dulu, tiap kali ketemu, gejolak seks muncul begitu saja. Terus ML (making love) deh. Biasanya kita lakuin kegiatan itu di hotel. Kadang di rumah juga, kalau orang rumah lagi pergi semua. Kalau rumah nggak lagi sepi ya paling cuma berani ciuman dan raba sana-sini. Buat gue, semua itu biasa. Gue nglakuinnya karena merasa yakin doi bakal jadi suami gue. Gue nggak takut dosa. Kan kita sama-sama mau, jadi nggak ada paksaan. Dosa terjadi kan kalau ada paksaaan. Gitu menurut gue! Waktu putus, gue nggak nyesel sudah nglakuin itu, habis, mau gimana lagi! Santai saja! Tentang pendidikan seks, gue nggak pernah terima dari orangtua. Paling dari teman, majalah, buku, atau film”
Itulah penuturan Neila (samaran), pelajar kelas 3 sebuah SMA di Jakarta Timur, yang baru saja menjalani UAN. Tanpa beban, remaja manis bertubuh mungil ini menceritakan pengalamannya. Ia dan sang kekasih tahu harus melakukan apa supaya hubungan seks pranikah itu tidak membuatnya hamil.
Sampai saat ini, Neila yakin orangtuanya sama sekali tidak tahu perilaku putri keduanya itu. ”Gue nggak bakal ceritalah, bisa mati mendadak mereka. Teman malah ada yang tahu, tentu saja yang punya pengalaman sama,” katanya sambil memilin-milin rambutnya.
Menurutnya, ML di kalangan remaja sekarang bukan hal yang terlalu asing lagi. Malah, ada yang sengaja merayu pria dewasa yang bisa ditemui di mal dan tempat umum lain, untuk mendapatkan uang atau barang berharga, seperti telepon seluler model terbaru, jam tangan bermerek, baju, sepatu, tas, dan sebagainya. ”Bukan profesi sih, cuma iseng. Hitung-hitung bisa buat gaya. Mending gue `kan, yang nglakuinnya cuma sama pacar dan bukan demi duit,” sergahnya.
Biarkan atau Bertindak?
Sudah seharusnya kita kembali ke akar budaya bangsa kita. Jauh sebelumnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki nilai akar (root value) budaya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kesusilaan seperti tertuang dalam falsafah dan nilai Pancasila. Kondisi yang menimpa generasi muda saat ini, harus dibina dan dididik agar mereka menjadi pemimpin yang memiliki moralitas yang tinggi untuk membangun bangsa dan negaranya.
Semua pihak haruslah merasa bertanggung jawab atas kasus ini. Disamping orang tua, peran masyarakat sangatlah penting. Sistem pendidikan kita juga harus diubah. Jangan naikkan anggaran tanpa meningkatkan nilai yang sesungguhnya dari pendidikan. Pemerintah sudah seharusnya tegas melaksanakan undang-undang, dan para pengusaha, pedagang, dan web internet cobalah berhenti menyebarkan hal-hal yang merusak (karena generasi kita masih rapuh).
Hal-hal yang harusnya dilakukan:
- Pemerintah filtrasi tegas sinetron, film atau iklan yang berisi kekerasan seksual, pergaulan bebas, mistis-religi, kekerasan-religi, ramalan serta judi.
- Menindak tegas para pelanggar UU Perlindungan Anak
- menfilter situs-situs porno di Indonesia. Hingga saat ini saja ada 6 Situs Porno yang Paling Banyak diakses di Indonesia
- Membangun Youth Centre, pusat pendidikan dan kreasi bagi remaja-remaja agar beraktivitas yang positif.
- Secara aktif mengontrol promosi (iklan) dan peredaran rokok.
- Memprioritaskan program pencegahan perdagangan anak, eksploitasi seksual komersial anak, dan narkoba.
- Edukasi pada masyarakat bahwa jangan mengasingkan anak-anak (yang menjadi korban), bantulah mereka untuk keluar dari permasalahan mereka (material maupun moril).

SISTEM POLITIK DUNIA


Pendahuluan. Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 konsep berbeda. Sistem kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.


Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya. Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami, bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain.

Komunis adalah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan. Negara-negara yang masih menganut sistem politik komunis ini adalah Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Cina. Di negara-negara tersebut, Partai Komunis adalah satu-satunya partai yang berkuasa dan boleh berdiri.

Otoritarian Kontemporer adalah sistem politik dalam mana personalitas pemerintah (presiden dan pendukungnya) sangat besar. Dalam Otoritarian Kontemporer, biasanya ada satu partai dominan dan beberapa partai “figuran.” Pemerintah mengontrol keberadaan partai-partai politik dan mengintervensi jika terdapat masalah dalam struktur internal partai. Indonesia di masa Orde Baru mencirikan hal ini, di mana Golkar menjadi partai dominan, sementara PPP dan PDI selaku partai “figurannya.” Negara lain yang memberlakukan sistem ini adalah Singapura dan Malaysia.

Kediktatoran Militer adalah pemerintahan yang dikuasai sebuah faksi militer. Kediktatoran Militer biasanya muncul ketika militer menilai politisi sipil tidak mampu menyelesaikan masalah yang telah berlarut-larut. Militer (salah satu faksinya) kemudian melakukan kudeta dan langsung memerintah tanpa memperhatikan partai-partai politik yang ada. Pemerintahan yang muncul ini menyerupai “darurat perang”, sehingga mustahil partai politik dapat beraktivitas secara leluasa. Myanmar dan Pakistan di bawah Jenderal Musharraf adalah contoh dari kediktatoran militer ini.

Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.

Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut :



Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian. Maurice Duverger melakukannya menurut jumlah partai, Robert Dahl menurut skala kompetisi yang opositif, Blondel melakukan menurut ukuran jumlah dan besar partai secara relatif, Rokkan menurut jumlah partai, kadang-kadang satu partai mayoritas, dan distribusi kekuatan partai-partai minoritas, dan Giovani Sartori menurut jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai tersebut.

Mair sendiri cenderung menyebut klasifikasi Giovani Sartori sebagai yang paling dekat untuk digunakan. Alasannya, pertama, klasifikasi Sartori bersifat paling komprehensif dan bisa diterapkan pada kasus-kasus empiris (nyata). Kedua, ia bisa diterapkan di negara-negara dengan jumlah dan sistem kepartaian berbeda. Misalnya Amerika Serikat yang sistem 2 partai, India yang satu partai berkuasa (Kongres), Malaysia yang satu partai berkuasa (UMNO), Jepang yang satu partai berkuasa (Liberal Demokrat). Ketiga, klasifikasi tersebut tetap memperhatikan pola-pola kompetisi dan interaksi antar partai dan cocok dengan pengertian sistem kepartaian itu sendiri. Keempat, ia mengkaitkan antara perilaku pemilih dengan hasil pemilihan.

Sistem 2 Partai menurut Sartori adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan format terbatas dan jarak ideologi yang tidak terlalu jauh. Misalnya terjadi di Inggris, di mana meskipun banyak partai berdiri, tetapi hanya 2 partai yang eksis di setiap Pemilu, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat, di mana Partai Republik dan Partai Demokrat yang hadir di setiap Pemilu, untuk kemudia memegang kendali pemerintahan.

Pluralisme Moderat adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme terbatas dan jaran ideologi antarpartai yang tidak terlampau jauh. Ini terjadi di Denmark.

Pluralisme Terpolarisasi adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme ekstrim dan besarnya jarak ideologi antar partai. Ini terjadi di Italia selama tahun 1970-an dan Chili sebelum kudeta tahun 1973).

Partai Berkuasa adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan adanya 1 partai yang selalu memenangi kursi di Parlemen. Seperti telah disebut, ini terjadi di Malaysia, India, dan Jepang. Partai yang ikut pemilu tetap banyak, akan tetapi yang menang adalah partai yang “itu-itu” saja.

Partai Politik

Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Partai politik memiliki sejarah panjang dalam hal promosi ide-ide politik dari level masyarakat ke level negara. Namun, sebelum dilakukan pembicaraan lebih lanjut, perlu kiranya diberikan definisi mengenai partai politik yang digunakan dalam tulisan ini.

Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan oleh Edmund Burke tahun 1839 dalam tulisannya "Thoughts on the cause of the present discontents’. Burke menyatakan bahwa “party is a body of men united, for promoting by their joint endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed" [partai politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara bersama-sama, berdasarkan pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui]. Definisi Burke ini tampak masih “abstrak” oleh sebab tidak semua partai secara empiris memperjuangan kepentingan nasional. Ini tampak misalnya dalam tulisan Robert Michels tentang The Iron Law of Oligarchy (Hukum Besi Oligarki).

Robert Michels menyatakan bahwa partai politik, sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengindetifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial yang mereka wakili. Partai sengaja dibentuk sebagai alat untuk mengamankan tujuan. Juga menjadi bagian dari tujuan itu sendiri, memiliki tujuan dan kepentingan di dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah partai, kepentingan massa pemilih yang telah membentuk partai kerap kali terlupakan oleh sebab terhalangi oleh kepentingan birokrasi yang dijalankan pemimpin-pemimpinnya.

Definisi lain mengenai partai politik diajukan oleh Joseph Schumpeter tahun 1976 dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy. Menurutnya, partai politik adalah “… is a group whose members propose to act in concert in the competitive struggle for power…. Party and machine politicians are simply the response to the fact that the electoral mass is incapable of action other than in a stampede, and they constitute an attempt to regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of a trade association. [… adalah kelompok yang anggotanya bertindak terutama dalam hal perjuangan mencapai kekuasaan … Partai dan para politisinya merupakan contoh sederhana bagi tanggapan atas ketidakmampuan massa pemilih untuk bertindak selain dari ketidakrapian organisasinya, dan mereka secara nyata berusaha mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan].

Definisi Schumpeter ini cukup sinis, dengan menyatakan bahwa partai politik bisa berperan oleh sebab para pemilih (warganegara) sendiri tidak terorganisasi secara baik untuk memenuhi kepentingannya di dalam negara. Schumpeter juga menganggap partai politik adalah sama seperti pedagang, di mana komoditas yang diperjualbelikan adalah isu politik yang dibayar dengan pemberian suara oleh para pemilih.

Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson pun memberikan definisi mereka tentang partai politik. Menurut Lapalombara dan Anderson, partai politik adalah “… any political group, in possession of an official label and of a formal organization that links centre and locality, that presents at elections, and is capable of placing through elections (free or non-free), candidates for public office. [… setiap kelompok politik, yang memiliki label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara pusat kekuasaan dengan lokalitas, yang hadir saat pemilihan umum, dan memiliki kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat publik melalui kegiatan pemilihan umum (baik bebas maupun tidak bebas].

Definisi Lapalombara dan Anderson ini membatasi partai politik sebagai organisasi resmi, diakui pemerintah, dan ikut pemilihan umum. Partai politik adalah penghubung antara pusat kekuasaan dengan lokalitas (warganegara yang tersebar di aneka wilayah, agama, ideologi, dan sejenisnya). Partai politik berfungsi untuk menempatkan orang-orang (kandidat) bagi sebuah jabatan publik.

Dari definisi yang cukup bervariasi ini, dapat ditarik suatu simpulan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang bersifat resmi, yang bertujuan memenuhi kepentingan para pemilihnya dengan cara menguasasi pemerintahan dan menempatkan anggota-anggota mereka melalui mekanisme Pemilihan Umum. Definisi ini tentu saja terlampau sederhana akan tetapi akan dipakai di dalam tulisan ini.

Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah.

Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya adalah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi :
1. Agregasi kepentingan – fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.

2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama.

3. Staffing government – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik baru maupun menggantikan yang lama.

4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah – fungsi ini adalah posisi partai politik mengkoordinasi aneka lembaga pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.

5. Mempromosikan stabilitas politik – fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.

Penulis lain, misalnya Janos Simon membagi fungsi partai politik menjadi 6, yaitu : (1) Fungsi sosialisasi politik; (2) fungsi mobilisasi politik; (3) fungsi representasi politik; (4) fungsi partisipasi politik; (5) fungsi legitimasi sistem politik, dan (6) fungsi aktivitas dalam sistem politik.

Fungsi sosialisasi politik mulai signifikan ketika seseorang sudah mampu menilai keputusan dan tindakannya. Orang tersebut kemudia mencari “figur” yang dianggap mewakili norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu lembaga yang menyediakan nilai tersebut adalah partai politik. Sebab itu, partai politik berfungsi sebagai agen guna mengisi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada diri individu. Peran ini semakin besar di negara-negara dengan sistem kepartaian multipartai.

Fungsi mobilisasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan dari mobilisasi ini adalah : Mengurangi ketegangan sosial yang ditampakkan oleh kelompok-kelompok yang termobilisasi; Mengelaborasi program-program untuk menurunkan ketegangan tersebut, dan sebagai hasilnya kelompok-kelompok tersebut mengalihkan dukungannya kepada partai politik, dan; Membangun struktur kelompok yang akan menjadi basis pendukung partai yang bersangkutan.

Fungsi partisipasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara agar aktif dalam kegiatan politik. Jenis partisipasi politik yang ditawarkan partai politik kepada warganegara adalah kegiatan kampanye, mencari dana bagi partai, memilih pemimpin, demonstrasi, dan debat politik.

Fungsi legitimasi mengacu pada kebijakan partai politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah maupun eksistensi sistem politik. Seperti diketahui, partai politik memiliki massa pemilih. Jika partai memilih untuk mendukung sesuatu, maka kemungkinan besar pemilihnya akan melakukan hal yang sama.

Fungsi representasi adalah fungsi klasik partai politik. Partai politik yang ikut pemilihan umum dan memenangkan sejumlah suara, akan menempatkan wakilnya di dalam parlemen. Anggota partai yang masuk ke dalam parlemen ini membawa fungsi representasi dari warganegara yang memilih partai tersebut.

Fungsi aktivitas dalam sistem politik didasarkan pada premis, partai politik menjabarkan programnya dan menyiapkan anggota-anggotanya untuk menjalankan program tersebut. Jika partai tersebut mengantungi suara dalam pemilu, maka anggota-anggotanya tersebut akan masuk ke dalam parlemen. Anggota partai yang bersangkutan tersebut kemudian beraktivitas (secara politik) untuk menjalankan program-program partai. Aktivitas pemerintahan (khususnya parlemen) menjadi berjalan akibat adanya partai politik tersebut.
Tipe Partai Politik

Tipe-tipe partai politik dari para ahli cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.

Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.

2. Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.

3. Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.

4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.

5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.

------------------------------------------------------------------

MANAJEMEN AKSI

Manajemen Aksi Massa

Pengertian Aksi Massa
Aksi massa adalah suatu metode perjuangan yang mengandalkan kekuatan massa dalam menekan pemerintah/pengusaha untuk mencabut atau memberlakukan kebijakan yang tidak dikehendaki massa. Aksi massa merupakan bentuk perjuangan aktif dalam rangka merubah kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak massa, oleh karena aksi massa mengambil bentuk yang paling dekat dengan dinamika sosial yang berjalan dalam masyarakat.

Latar Belakang Psiko-Sosiologis Aksi Massa
Dorongan terpokok yang melahirkan aksi massa adalah keinginan massa akan perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi mahasiswa, aksi rakyat, dan gerakan lain dari kelompok kepentingan dalam rangka mewujudkan mimpi perubahan.
Manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan mendasar yang harus mendapatkan pemenuhannya. Secara sosiologis ada tiga kategori kebutuhan:
1. Kebutuhan biologis/primer, yaitu kebutuhan manusia terhadap hal-hal yang berkaitan langsung dengan jasmani manusia. Tergolong kebutuhan ini adalah makanan dan minuman, pakaian, bernafas dan istirahat, dan lain-lain.
2. Tergolong kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yang mendukung terpenuhinya kebutuhan biologis/primer. Tergolong kedalam kebutuhan ini adalah pendidikan, rekreasi, komunikasi, hubungan sosial, dan lain-lain.
3. Kebutuhan spiritual, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut kerinduan manusia akan hal-hal yang bersifat kerohanian, supranatural, dan metafisik. Misalnya kebutuhan akan shalat, kebaktian, klenteng, dan lain-lain.
Setiap manusia memiliki ketiga jenis kebutuhan tersebut, karenanya dalam pemenuhannya harus diatur supaya tidak terjadi penumpukan dan benturan. Peraturan mutlak diperlukan untuk tujuan keseimbangan dalam masyarakat. Peraturan atau hukumlah yang menentukan batasan antara hak dan kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dalam kehidupan sosial pranata diperlukan untuk mengatur tata kehidupan antar manusia dalam masyarakat. Pranata sosial menjadi kebutuhan bersama dan karena itu pula harus disepakati bersama serta dilaksanakan secara konsisten secara bersama-sama pula.
Guna perngorganisasian sosial masyarakat, maka pembuatan, pelaksanaan dan penegakan hukum kemudian diserahkan pada lembaga yang disepakati. Di desa ada lurah dan LMD; di level daerah ada walikota/bupati dan DPRD Kota/Kabupaten; di tingkat provinsi ada gubernur dan DPRD Provinsi; di pusat dikendalikan oleh presiden dan MPR/DPR. Singkat kata, pelaksana dan penegakan hukum diserahkan ke institusi yang dianggap mewakili seluruh golongan dalam masyarakat. Proses pemilihan perwakilan rakyat dan pemimpin eksekutif pada institusi-institusi negara tersebut dalam kerangka demokrasi lazimnya disebut pemilihan umum.
Namun demikian, walaupun perwakilan yang duduk pada institusi (trias politika dalam istilah Montesqueu) dipilih rakyat, tidak mustahil dapat terhindar dari penyimpangan terhadap aturan-aturan, membuat aturan untuk kepentingannya sendiri dan kelompoknya, mempertahankan kelangsungan kekuasaan dan mempertahankan status quo. Kelemahan utama dari sistem demokrasi adalah fasifnya rakyat dalam kebijakan, seolah rakyat hanya terlibat dalam pemilihan umum semata. Kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah inilah yang menimbulkan jalan lain perjuangan aspirasi, yaitu jalan ekstra parlementer yang sering mengambil bentuk aksi massa atau demonstrasi.
Bentuk-Bentuk Aksi Massa
Aksi massa dikenal dalam berbagai bentuk sesuai dengan target dan sasaran aksi. Di lihat dari aktivitas, aksi massa dibedakan dalam dua bentuk, yaitu aksi aksi statis dan aksi dinamis. Aksi statis adalah aksi massa yang dilakukan pada satu titik tertentu dari awal hingga aksi berakhir. Aksi dinamis adalah aksi yang dimulai dari titik kumpul tertentu lalu berpindah sesuai dengan sasaran aksi.
1. Rapat akbar
2. Rally/long march
3. Mimbar bebas
4. Panggung kesenian, dll
Hampir tidak ada aksi massa yang berjalan spontan. Umumnya aksi massa dipersipkan secara matang, mulai dari kekuatan massa yang akan terlibat, perangkat aksi, isu dan tuntutan serta institusi yang dituju. Pada dasarnya aksi massa melalui tahapan sebagai berikut:
Persiapan
Gagasan untuk melakukan aksi massa biasanya lahir dari adanya syarat objektif bahwa isntitusi/lembaga berwenang tidak tanggap terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Oleh karena itu diperlukan adanya tekanan (pressure) massa untuk mendorong persoalan rakyat menjadi perdebatan luas dan terbuka di intra parlemen maupun dimuka pendapat umum (public opinion) di luar parlemen.
Semua hal yang berkaitan dengan tekanan mengandalkan kekuatan massa harus dipersiapkan sehingga dapat berjalan optimal. Persiapan aksi massa berjalan dalam lingkaran-lingkaran diskusi yang diorientasikan mampu memunculkan:
1. Isu/tuntutan
Isu atau tuntutan yang akan diangkat dalam aksi massa harus dibicarakan dan diperdebatkan. Penentuan isu sangat penting karena akan memberi batasan gerak secara keseluruhan dari proses aksi massa di lapangan.
2. Prakondisi aksi
Prakondisi aksi adalah aktivitas yang dilakukan sebelum aksi massa berlangsung. Pra kondisi tersebut biasanya dalam bentuk aksi penyebaran selebaran, penempelan poster, grafiti action, dst. Tujuan pra kondisi aksi adalah untuk mensosialisasikan rencana aksi massa beserta isu/tuntutannya, serta memanaskan situasi pada sasaran kampanye atau sasaran aksi.
3. Perangkat aksi massa
Perangkat aksi adalah mbagian kerja partisipan aksi massa. Perangkat aksi massa disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya diperlukan perangkat sebagai berikut:
a. Koordinator lapangan.
Korlap bertugas memimpin aksi di lapangan, berhak memberikan instruksi kepada peserta aksi/massa. Keputusan untuk memulai ataupun membubarkan/mengakhiri aksi massa ditentukan oleh korlap. Korlap hendaknya orang yang mempunyai kemampuan agitasi, propaganda, orasi dan komunikatif.
b. Wakil koordinator lapangan.
Wakorlap adalah pembantu korlap di lapangan dan berfungsi sama dengan korlap.
c. Divisi Acara
Divisi acara bertugas menyusun acara yang berlangsung pada saat aksi massa dan bertugas mengatur dan mengemas jalannya acara agar massa tidak jenuh.
d. Orator. Orator adalah orang yang bertugas menyampaikan tuntutan-tuntutan aksi massa dalam bahasa orasi, serta menjadi agitator yang membakar semangat massa.
e. Humas. Perangkat aksi yang bertugas menyebarkan seluas-luasnya perihal aksi massa kepada pihak-pihak berkepentingan, terutama pers.
f. Negosiator, berfungsi sesuai dengan target dan sasaran aksi. Misalnya pendudukan gedung DPR/DPRD sementara target tersebut tidak dapat tercapai karena dihalangi aparat keamanan, maka negosiator dapat mendatangi komandannya dan melakukan negosiasi agar target aksi dapat tercapai. Karenanya seorang negosiator hendaknya memiliki kemampuan diplomasi.
g. Mobilisator. Bertugas memobilisasi massa, menyerukan kepada massa untuk bergabung pada aksi massa yang akan digelar. Kerja mobilisasi massa berlangsung sebelum aksi dilaksanakan.
h. Kurir. Berfungsi sebaga penghubung ketika sebuah aksi massa tidak bisa dipastikan hanya dimanfaatkan oleh satu komite aksi atau kelompok saja. Bisa jadi pada saat bersamaan komite aksi lainnya sedang menggelar aksi massa, menuju sasaran yang sama. Oleh karena karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman diperlukan fungsi kurir untuk menghubungkan kedua atau lebih komite aksi yang menggelar acara yang sama. Selain itu kurir juga berfungsi menjembatani komi aksi-komite aksi agar terjadi penyatuan massa atau aliansi taktis di lapangan. Dalam hal ini kurir bertugas memberikan laporan pada korlap perihal aksi massa yang dilakukan komite aksi lain.
i. Advokasi. Perbenturan antara kedua massa dengan aparat keamanan perlu dihindari, akan tetapi jika hal itu terjadi dan berakhir dengan penangkapan terhadap aktivis massa diperlukan peran tim advokasi yang bertugas membela dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban.
j. Asisten teritorial/keamanan/sweaper/dinamisator lapangan.
Sering terjadi aksi masa radikal menjadi aksi massa anarkis karena emosi terpancing untuk melakukan tindakan destruktif. Antisipasi, terhadap kecenderungan semacam ini dilakukan dengan melengkapi aksi massa dengan perangkat asisten teritorial (aster).
Aster atau disebut juga keamanan atau sweaper bertugas mencegah terjadinya penyusupan oleh pihak luar yang bertujuan memperkeruh suasana. Tugasnya mengamati kondisi massa. Selain itu juga aster berfungsi mengagitasi massa dengan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan agar aksi massa tetap tampil semangat.
k. Logistic dan medical rescue.
Perangkat logistic bertugas menyediakan perlengkapan-perlengkapan fisik yang diperlukan dalam aksi massa seperti spanduk, poster, selebaran, pengeras suara, dan pernyataan sikap. Sedangkan medical rescue bertugas menyediakan obat-obatan dan memberikan bantan p3k terhadap masa yang kesehatan fisiknya terganggu ketika aksi massa berlangsung.
l. Dokumentasi
Divisi ini bertugas mengabadikan penyelenggaraan aksi massa dalam bentuk gambar atau dalam bentuk tulisan kronologi.
m. Sentral informasi
Sentral informasi adalah nomor telepon yang dijaga oleh seseorang yang bertugas mendapatkan dan memberikan informasi tentang kondisi masa, situasi lapangan, sampai dengan informasi-informasi lainya.
4. Kelengkapan Aksi Massa.
selain kelengkapan struktur berupa perangkat aksi massa, dibutuhkan pula kelengkapan material yang berupa instrumen aksi massa.
Ø Poster adalah kertas ukuran lebar yang bertuliskan tuntutan aksi massa dipermukaanya. Poster berisi tuntutan aksi yang ditulis tebal dengan spidol atau cat agar jelas dibaca oleh massa ditulis dengan singkat dan jelas.
Ø Spanduk adalah bentangan kain yang ditulis tuntutan-tuntutan atau nama komite aksi yang sedang menggelar aksi massa.
Ø Selebaran adalah lembaran kertas yang memuat informasi agitasi dan propaganda kepada massa yang lebih luas agar memberikan dukungan terhadap aksi massa.
Ø Pengeras suara adalah perangkat keras elektronika yang berfungsi memperbesa suara.
Ø Pernyataan sikap/statemen adalah pernyataan tertulis yang memberikan gambaran sikap massa terhadap satu kebijakan satu institusi/perorangan dibacakan dibagian akhir proses aksi massa. Penyusunannya dilakukan oleh humas atau dvisi logistik.
5. Nama komite aksi
Aksi massa meskipun bersifat temporer, tetap membutuhkan nama sebagai identitas pelaksana kegiatan. Nama komite aksi harus ditentukan, baik melalui perdebatan pada saat persiapan aksi massa. Apalagi kalau aksi massa merupakan tindakan bersama dari beberapa kelompok/orgaisasi, nama komite mutlak dibutuhkan agar tidak terjadi klaim dan kesalahpahaman antar organisasi.
Nama awal komite aksi yang lazim dipakai untuk mengidentifikasi diri massa, sebagai berikut:
a. Forum
b. Front
c. Barisan
d. Persatuan
e. Kesatuan
f. Solidaritas
g. Jaringan
h. Aliansi
i. Koalisi
j. Gerakan
k. Pergerakan
l. Himpunan
m. Serikat
n. Komite
o. Liga
p. Gabungan
q. Asosiasi
r. Dewan...dsb
Semua nama diatas sebenarnya mempuyai hakekat yang satu bahwa komite aksi yang sedang menyelenggarakan aksi massa mempunyai basis massa yang solid, bersatu, maju, dan tidak dapat dpecah oleh kekuatan dari luar organisasi komite bersangkutan.
Namun demikian komite aksi yang profesional persoalan nama sudah tidak menjadi hal penting yang perlu dibicarakan apalagi diperdebatkan, karena hanya akan memakan waktu yang sia-sia saja. Beberapa organisasi yang namanya sudah populer dan mapan tak perlu merumuskan nama komite aksi karena hal yang demikian tidak lagi menjadi kebutuhan.
A. Massa persiapan aksi
Kehadiran massa dalam jumlah yang massif dalam aksi massa merupakan faktor yang menentukan keberhasilan aksi massa. Semakin besar kemampuan aksi suatu komite aksi dalam hal mobilisasi massa untuk memberikan support akan semakin memberikan kontribusi positif terhadap aksi massa. Maka pada tahap persiapan aksi massa dipersiapkan perangkat aksi/divisi khusus bekerja memobilisasi sebelum aksi berlangsung.
B. Target aksi
Target aksi adalah tujuan-tujuan minimal dan maksimal yang akan diraih dalam aksi massa tersebut. Misalnya aksi massa dengan target membangun persatuan dan solidaritas target mengkampanyekan isu/tuntutan, target memenangkan tuntutan dll.
C. Sasaran dan waktu
Mobilisasi massa akan diarahkan kemana senantiasa dibicarakan dalam pra aksi massa. Instansi atau lokasi yang dituju disesuaikan dengan isu isi tuntutan yang diangkat. Oleh karena itu ditentukan pula metode aksi massa yang diterapkan: rally dari satu titik awal menuju sasaran atau massa langsung memobilisasi kesasaran tujuan.
Sasaran aksi massa adalah institusi perwakilan rakyat atau institusi lain yang relevan dengan tuntutan massa . misalnya : tuntutan aksi massa tentang pencabutan dwi fungsi ABRI/TNI maka sasaran yang relevan untuk tuntutan tersebut adalah instansi militer.
Sedangkan waktu aksi ditentukan berdasarkan kebutuhan yang paling mungkin dengan segala pertimbangan seperi basis massa, sasaran aksi massa, jika basis massa direncanakan mahasiswa, maka aksi diselenggarakan pada hari libu mahasiswa, begitu pula dengan sasaran kantor-kantor pemerintah indonesia aktif dari senin hingga jumat dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00 maka aksi tidak menarik jika dilaksanakan diluar waktu tersebut misalnya pada hari sabtu dan minggu dan tanggal merah lainya.momentum aksi massa yang jelas sangat menentukan. Aksi pada satu momentum bersejarah akan membuka kembali memori massa akan satu peristiwa yang tidak dihendaki terjadi oleh semua. Maka momentum dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Momentum yang dibuat sendiri (ourself made momentum)
Momentum pengajuan tuntutan terhadap pemerintah untuk mencabut atau mengukuhkan kebijakan saat tertentu yang tidak ada basis materialnya pada massa lalu, bahwa pernah terjadi suatu peristiwa penting yang diketahui orang banyak pada hari atau tanggal yang bersangkutan.
b) Momentum yang disediakan(privided momentum)
Yaitu saat penyelenggaraan aksi massa yang dipaskan dengan memperingati satu kejadian pada masa silam. Misalny aksi massa buruh pada tanggal 1 mei memperingati hari buruh sedunia.
Aksi massa yang dilaksanakan pada momentum yang disediakan ini akan dapat mengingatkan kembali massa luas kepada peristiwa yang tragis atau bahkan monumental yang pernah terjadi pada masa lalu.
I. Pelaksanaan aksi massa/ demonstrasi
Pada saat aksi massa dilakukan, segala tindakan massa di setting sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan para perangkat yang telah diberi tugas. Semua bekerja sesuai dengan tugas yang telah disepakati bersama dalam persiapan sebelum aksi massa digelar.penyimpangan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama akan dikoreksi pada saat forum evaluasi diadakan.
II. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian aksi massa. Merupakan forum atau wadah tempat mengoreksi kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dilapangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan setting aksi massa yang telah disepakati bersama. Evaluasi ini berfungsi melahirka ide-ide baru yang dapat membagun struktur pemikiran alternatif terhadap pola aksi yang telah dilaksanakan oleh komite aksi.dialektika pola aksi massa justru dapat terungkap ketika evaluasi terhadap pelaksanaan aksi masa digelar.
Penutup
Aksi massa atau sering disebut demontsrasi telah marak di indonesia sejak periode akhir kejayaan rejim soeharto. Fenomena aksi massa ini tidaklah lahir secara spontanitas belaka, kemunculanya lebi dilatar belakangi oleh latar belakang sosiologis dan psikologis massa yang tidak puas terhadap keadaan sosial yang meligkupinya. Keadaan sosial tersebut disebabkan oleh sistem sosial, ekonomi, politik dan kompleksitas siste yang lain.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com